Senin, 26 Juli 2010

Sakban Rosidi, Paradigma Keilmuan Realisme Marxian

Telaah Ringkas Berdasar Fungsi-fungsi Ilmu[1]

Oleh Sakban Rosidi[2]


Let us assume man to be man, and his relation to the world to be a human one. Then love only can be exchanged for love, trust for trust, etc. (Marx, 1964: 193-194).

Few authors have had the fate of being misunderstood and distorted as Marx has been. Few authors, also, have been so often quoted and so little read (Fromm, 1964).

Apakah kutipan di atas terkesan membela Karl Marx? Memang tampak benar. Sebab, seperti kata Erich Fromm (1964), sedikit sekali pemikir yang bernasib disalah-pahami dan disimpangkan seperti Marx. Juga, amat sedikit penulis yang kelewat sering dikutip, tetapi jarang sekali dibaca secara tuntas seperti Marx.

Merujuk tengara Elster (1986), mudah dikesan bahwa Marx telah dimartabati sebagai nabi kaum bagi sosialis-komunis, tetapi dihujat bagai kafir bagi kaum kapitalis-individualis. Celakanya, baik pemujaan maupun penghujatan dilakukan nyaris tanpa sikap kritis. Lebih kejam lagi, Marx telah dilihat sebagai pribadi statik tanpa perubahan. Padahal, seperti kelaziman setiap manusia, Marx pun berproses dan berubah secara sangat berarti (Bottomore, 1964). Semasa muda, Marx dikenal sebagai pengagum Hegel. Bersama kaum Hegelian muda, Marx menggarap gagasan pemerdekaan manusia.

Tak pelak, di bawah pujian para pemuja dan kesumat para penghujat, tulisan ini terpaksa tampil secara agak berbeda. Tidak menempatkan pemikiran Marxisme sebagai ideologi, tetapi lebih melihat Marxisme sebagai paradigma keilmuan sosial. Hajatnya pun teramat sederhana, yakni sekedar menawarkan satu lagi pilihan paradigma bagi pemerhati gejala kemasyarakatan dan kebudayaan.

Atas nama kesederhanaan pula, sajian ditata menurut empat fungsi ilmu, tak terkecuali ilmu-ilmu sosial, yaitu: (1) menggambarkan (to describe) kenyataan, (2) menjelaskan (to explain) kenyataan, (3) meramalkan (to predict) kenyataan, dan --- bila dikehendaki -- (4) mengendalikan (to control) kenyataan (Van Dyke, 1978).

A. Marxisme, Paradigma Keilmuan Sosial

Menurut Olsen, Lodwick, dan Dunlap (1992), baik wawasan dunia, paradigma sosial, ideologi, ataupun paradigma keilmuan pada dasarnya merupakan bingkai penafsiran kenyataan sosial (construction of social reality). Hanya tingkat ketersuratan (explicitness), serta kawasan kenyataan sosialnya yang berbeda.

Dikias sebagai lensa mental, peta kognitif serta perseptual, wawasan dunia (worldviews) tidak lain adalah sistem keyakinan dan nilai-nilai yang berfungsi menetapkan makna kenyataan sosial yang secara budaya diterima (establishing the culturally accepted definitions of social reality).

Sebagai orientasi perseptual dan kognitif, paradigma sosial (social paradigm) pada dasarnya merupakan wawasan dunia mini (mini-worldviews) masyarakat komunikatif. Paradigma ini berfungsi menafsirkan dan menjelaskan aspek-aspek penting dan tertentu kehidupan sosial (interpreting and explaining particular aspects of social life). Jadi selain penggunanya terbatas, paradigma sosial juga menyangkut aspek-aspek tertentu kehidupan (Olsen, Lodwick, and Dunlap, 1992).

Ditamsil sebagai argumentasi yang diturunkan dari wawasan dunia atau paradigma sosial sekelompok orang, ideologi berfungsi memberikan makna, menyederhanakan keberadaan, dan menciptakan kepastian (providing meaning, simplifying existence, and creating certainty). Walaupun bisa dibedakan menjadi ideologi partikular dan ideologi total, bergantung pada proporsi penganutnya, tetapi jelas bahwa ideologi mengklaim apakah sesuatu itu benar atau salah, serta baik atau buruk (Olsen, Lodwick, and Dunlap, 1992).

Tak salah memang kalau seseorang memperlakukan Marxisme sebagai wawasan dunia, paradigma sosial, ataupun ideologi. Namun, juga bisa diterima bila Marxisme digunakan sebagai semacam paradigma keilmuan sosial. Dicandra sebagai paradigma keilmuan (scientific paradigm), Marxisme tak lain adalah perspektif intelektual pokok kajian ilmu.

Tak beda dengan paradigma keilmuan lain, mengikuti pemikiran Romm (1991), Marxisme juga berfungsi memandu, memadukan, dan menafsirkan kerja para ilmuwan (guiding, integrating, and interpreting the work of scientists). Ini mencakup fungsi apa yang harus dikaji, pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan tersebut harus diajukan, aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menjawab pertanyaan. Jadi, paradigma keilmuan merupakan satuan kesepakatan terluas dalam suatu ilmu yang berfungsi membedakan satu masyarakat ilmiah dengan masyarakat ilmiah lain.

B. Model Deskriptif Marxian atas Masyarakat

Bagaimana Marx menggambarkan kenyataan masyarakat? Secara lugas, Marx dan Engels (1872) mengemukakan bahwa sejarah semua masyarakat yang pernah ada adalah sejarah perjuangan kelas. Ini menunjukkan bahwa: (1) hakekat kehidupan, menurut Marx, adalah pertentangan satu kelas sosial melawan kelas sosial lain, (2) pengkelasan sosial yang saling berlawanan terbentuk karena perbedaan pemilikan faktor produksi utama, dan (3) kemajuan peradaban dari tatanan sosial lama menuju tatanan sosial baru, merupakan akibat pertentangan antar kelas sosial suatu masyarakat.

The history of all hitherto existing society is the history of class struggle. Freeman and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another, carried on an uninterrupted, now hidden, now open fight, a fight that each time ended either in a revolutionary reconstitution of society at large of in the common ruin of the contending classes" (Marx and Engels, 1848: 6).

Dalam khazanah sosiologi, secara tak terbantah Marx telah menjadi perintis perspektif teoretik konflik. Meminjam Darhendorf (1959), perspektif ini memodelkan masyarakat dengan anggapan dasar:

(1) Every society is at every point subject to processes of change; social change is ubiquitous.

(2) Every society displays at every point dissensus and conflict; social conflict is ubiquitous.

(3) Every element in a society renders a contribution to its disintegration and change.

(4) Every society is based on the coercion of some of its members by others (Dahrendorf, 1959: 161-162).

Perubahan sosial, perpecahan, pertikaian, dan pemaksaan menjadi ciri dalam setiap pemodelan masyarakat yang menerapkan perspektif konflik Marxian. Teori konflik sosial, yang hingga kini masih belum mampu membebaskan diri dari bayang-bayang Marx ini, mengarahkan perhatiannya pada kepentingan-kepentingan kelompok yang saling bertentangan.

C. Model Eksplanatori Marxian atas Masyarakat

Bagaimana Marx menjelaskan kenyataan masyarakat? Baik sejarah maupun hubungan intra dan antar masyarakat, oleh Marx niscaya dijelaskan dalam semangat dialektika-materialisme dan determinisme ekonomi. Kalau dialektika materialisme tertampil jelas dalam manifesto partai komunis, maka betapa kental nuansa determinisme ekonomi justru menampak tegas dalam telaah tentang hakekat uang (Marx, 1964).

What I am and can do is, therefore, not all determined by my individuality. I am ugly, but I can buy the the most beautiful woman for myself. Consequently, I am not ugly, for the effect of ugliness, its power to repel, is annulled by money. As an individual I am lame, but money provides me with twenty-four legs. Therefore, I am not lame. I am a detestable, dishonorable, unscrupulous, and stupid man, but money is honoured and so also is its possessor. Besides money saves me the trouble of being dishonest; therefore, I am presumed honest. Money is the highest good, and so its possessor is good (Marx, 1964: 191).

Dalam semangat dialektika-materialisme, Marx berupaya menjelaskan gejala konflik sosial dalam bentuk rangkaian proposisi bahwa: (1) ketimpangan distribusi alat produksi mengakibatkan konflik kepentingan kelas bourjuis dengan protelariat, (2) peningkatan kesadaran kelas protelariat akan kepentingannya membuat mereka mempertanyakan keabsahan pola distribusi alat produksi, (3) kesadaran kelas protelariat dan pertanyaan terhadap keabsahan pola distribusi, mendorong kerjasama protelariat melawan bourjuis, (4) penyatuan ideologik dan struktur kepemimpinan politik mengakibatkan polarisasi bourjuis-protelariat, (5) polarisasi bourjuis-protelariat mengakibatkan konflik kekerasan, (6) konflik kekerasan mengakibatkan perubahan strutural dan redistribusi alat produksi langka (Turner, 1986).

Pun dalam dialektika sejarah, Marx menempatkan kenyataan dunia benda sebagai penentu dunia batin manusia. Kredo demikian menampak jelas dalam penentuan macam dan hubungan struktur sosial Marxian, yaitu: yaitu: bangunan atas (superstructure), dan bangunan bawah (sub-structure) masyarakat. Bangunan bawah adalah tataran kebendaan, dengan muatan kekuatan penggerak perjalanan sejarah, sedangkan bangunan atas adalah tataran pemikiran manusia yang tak lain mencerminkan konfigurasi tatanan kebendaan (Stumpf, 1983: 408).

Sebagai bagian bangunan atas, agama telah dinilai oleh Marx gagal dalam mengemban fungsi sejatinya, dan hanya memberi manusia tidak lebih dari khayalan belaka. Padahal, Marx mencita-citakan agar manusia harus menikmati baik kepuasan jasmani maupun rokhani.

The abolition of religion as the illusory happiness of men, is demand for their real happiness. The call to abandon their illusion about their condition is a call to abandon a condition which requires illusions (Marx, 1964: 44).

Ditelusur ke hajat dasarnya, Marx tidak mengecam substansi agama, tetapi justru kegagalan agama dalam memberikan kebahagiaan sejati. Kritik Marx atas agama adalah kritik terhadap perilaku masyarakat beragama, dan bukan agama itu sendiri. Agama telah menjadi sekedar dadah kaum kalah, dan menjadi gendam para pemenang.

D. Model Prediktif Marxian atas Masyarakat

Bagaimana Marx meramal masa depan masyarakat kapitalistik? Bila dikenakan pada masyarakat sekarang, maka tipologi masyarakat menurut Marx terdiri atas feudalisme dan kapitalisme. Feudalisme, sebagai tatanan sosial yang didasarkan pada pengutamaan tanah sebagai faktor produksi, merupakan sintesis pertentangan antara kaum bangsawan (patrician) melawan rakyat jelata (plebeian). Feudalisme sendiri, mengakibatkan polarisasi masyarakat, menjadi kelas tuan tanah (Lords) melawan budak tani (Serfs).

Pertentangan antara tuan tanah dengan budak tani yang berlangsung sejak revolusi industri, membentuk kapitalisme sebagai tatanan sosial baru yang didasarkan pada pengutamaan kapital sebagai faktor produksi. Dalam masyarakat kapitalistik, polarisasi masyarakat membentuk dua kelas sosial, kelas pemilik modal (Bourgeoisie) melawan kelas buruh (Proletariat).

Ketika membahas kecenderungan sejarah penumpukan kapital, Marx (1957) meramalkan bahwa kesalahan melekat dalam kapitalisme memaksa kaum kapitalis menggali kubur mereka sendiri. Kejadian demikian, menandakan datangnya kemenangan kaum kelas buruh sehingga mampu membentuk masyarakat komunis, sebagai tahapan lebih maju demi tujuan utopian masyarakat tanpa kelas (classless society).

The progress of industry, which the bourgeoisie involuntarily and passively promotes, substitutes for the isolation of the workers by mutual competition, their revolutionary unification by association. Thus the development of large-scale industry cuts from under the feet of bourgeoisie the ground upon which capitalism controls production and appropriates the products of labour. Before all, therefore, the bourgeoisie produces its own gravediggers. Its down-fall and the victory of the proletariat are equally inevitable (Marx, 1957: 847)

Sekali lagi, sejarah materialisme (historical materialism) akan terus berjalan sepanjang belum tercipta --- atau malah hingga kita meninggal --- tatanan masyarakat sempurna (perfect societal order) berupa masyarakat sosialis. Walaupun kejatuhan kelas borjuis dan kejayaan kelas proletariat merupakan keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari, tak berarti bahwa kaum proletariat tinggal berpangku-tangan guna menunggu kebangkrutan kapitalisme.

E. Praksis Marxian atas Derita Masyarakat

Bagaimana hasil kajian Marx memberi ilham bagi kebangkitan kaum buruh? Hakekat mendasar manusia, menurut Marx, berupa kehendak bebas. Bebas tidak sekedar dalam lingkungan kebendaan, tetapi juga bebas dalam mengungkapkan diri sendiri. Walaupun kondisi material yang memadai sangat penting, tetapi keserba-adaan material bukan merupakan kondisi yang diperlukan. Perwujudan diri individu, dalam pendangan ini, terdiri atas pemenuhan kebutuhan daya-cipta dan potensi kesenian.

Karena itu, proyek terakhir Marx adalah mempercepat proses dialektika sejarah sehingga segera sampai pada tatanan sempurna masyarakat. Dunia harus diubah dalam rangka mempermudah perwujudan sepenuh diri manusia.

The world should be changed in order to facilitate man's self-realization. This is what led Marx to say that hitherto, "...philosophers have only interpreted the world differently; the point is, however, to change it". This is the principle of Marx's praxis (Mayer, 1951).

Seluruh rangkaian fungsi ilmu sebagaimana di depan, bagi Marx tak lain adalah sekedar piranti perenungan atas kenyataan penindasan. Sayang, menurut Marx, para cerdik-cendekia hanya berhenti sebatas merenungkan, atau paling tinggi menawarkan pemahaman. Karena itu, kecaman keras tak henti dilontar oleh Marx, bahwa para filsuf hanya sibuk menafsirkan dunia dalam beragam cara, padahal pokok persoalannya, bagaimana mengubah kenyataan remuk-redam dunia dunia.

Praksis, sebagai daur berkesinambungan antara perenungan (reflection) dan tindakan (action) harus menjadi model perjuangan. Marx pun berpesan agar sebagai pemimpin (vanguard), kaum cerdik-cendekia membantu kaum pekerja untuk membangun kesadaran kelas sebagai daya perjuangan mereka.

D. Bahan Renungan

Menutup tulisan ini, menarik bila diajukan pertanyaan: Benarkah Marx juga menarik perhatian pada soal rasa manusia? Jawabnya benar. "Mari kita pahami manusia sebagai manusia, dan hubungannya dengan dunia pun harus manusiawi. Maka cinta hanya dapat ditukar dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan, dst...."

Let us assume man to be man, and his relation to the world to be a human one. Then love only can be exchanged for love, trust for trust, etc. If you wish to enjoy art you must be an artistically cultivated person. If you wish to influence other people you must be a person who really has a stimulating and encouraging effect upon others. Every one of your relations to man and to nature must be a specific expression, corresponding to the object of your will, of your real individual life. If you love without evoking love in return, i.e. if you are not able, by the manifestation of yourself as a loving person, to make yourself a beloved person, then your love is impotent and a misfortune (Marx, 1964: 193-194).

Bila anda berharap bisa menikmati seni, maka anda pun harus menjadi pribadi yang dibesarkan secara seni. Bila anda berharap bisa mempengaruhi orang lain, maka anda pun harus menjadi seorang pribadi yang benar-benar memberi pengaruh berupa rangsang dan keberanian terhadap orang lain. Segala hubungan anda dengan manusia dan alam harus merupakan ungkapan khusus, bertalian dengan objek yang anda kehendaki, dan dari kehidupan individual anda yang nyata. Bila anda mencintai tanpa menumbuhkan cinta kembali, dalam hal ini bila anda tidak mampu, dengan perwujudan diri anda sebagai pribadi yang mencintai, untuk membuat diri anda sendiri sebagai pribadi tercinta, maka cinta anda tanpa-daya dan itu suatu ketidak-berutungan.

Selamat bercinta!

Daftar Rujukan

  • Darhendorf, Ralf, 1959, Class and Class Conflict in Industrial Society, London: Routledge.
  • Elster, Jon., 1986, An Introduction to Karl Marx, Cambridge: Cambridge University Press.
  • Fromm, Erich, 1964, "Forward", in Bottomore, T., ed., Early Writings, New York: McGraw-Hill, Inc.
  • Marx, Karl, 1957, Capital, translated by Eden and Cedar Paul, London: J.M. Dent & Sons Ltd.
  • Marx, Karl, 1964, Early Writings, Bottomore, T., ed., New York: McGraw-Hill, Inc.
  • Marx, Karl, and Frederich Engels, 1963, "The Manifesto of Communist Party", in John Somerville and Ronald E. Santoni, Social and Political Philosophy, New York: Doubleday & Company, Inc.
  • Mayer, Frederick, 1951, A History of Modern Philosophy, California: University of Rodlands.
  • Olsen, Marvin E., Dora G. Lodwick and Riley E. Dunlap, 1992, Viewing the World Ecologically, Boulder: Westview Press.
  • Romm, Norma R.A., 1991, The Methodologies of Positivism and Marxism, London: Macmillan Academic and Professional Ltd.
  • Stumpf, Samuel E., 1982, Philosophy: History & Problems, New York: McGraw-Hill Book Company.
  • Turner, J. H. , 1986, The Structure of Sociological Theory, Chicago: Dorsey Press.
  • Van Dyke, Vernon, 1978, Political Science: A Philosopical Analysis, Stanford: Stanford University Press.



[1] Tulisan ini semula berjudul “Paradigma Keilmuan Sosial Marxian”, disajikan sebagai kertas kerja pada Temu Sentani Mewaspadai Marxisme, Lembaga Penerbitan Mahasiswa dan Majalah Ekspresi, Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) Malang, 4 Juli 2000. Disunting sangat sedikit sebagai bahan kuliah Filsafat Ilmu, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2009.

[2] Sakban Rosidi adalah pelajar dan pembaca filsafat untuk lintas disiplin, dengan latar belakang sarjana ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, bahasa dan sastra Inggris, pasca-sarjana magister sosiologi politik, kandidat doktor ilmu sosial, dan kandidat doktor manajemen pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar